Pages

Minggu, 23 Mei 2021

Review Novel Pedro Paramo

REVIEW NOVEL PEDRO PARAMO KARYA JUAN RULFO

By. Novi Andriyani

Jual Pedro Paramo - Juan Rulfo di Lapak BAZAR BUKU | Bukalapak

Pedro Páramo karya Juan Rulfo adalah sebuah sastra dunia dari mexico yang di tulis pada tahun 1955 abad keduapuluh, buku ini ditulis dalam bahasa spanyol dan akhirnya diterjemahkan dalam bahasa inggris dan beberapa bahasa lainya. Di indonesia sendiri, katanya buku ini pernah jadi polemik perihal rights terjemahannya, ada perebutanlah antara salah satu penerbit mayor dan beberapa penggiat buku indie. Jadi penasaran dong, ini buku kayak gimana kok jadi rebutan *di samping polemik itu entah gosip ato bener.

Karna aku agak congkak, jadi pas lagi mood langsung ngambil buku ini secara random dari bookshelf tanpa tau buku ini tentang apa. Aku cuma tau secara garis besar bahwa ini Sastra Mexico, sampe aku melupakan tentang nuansa magis-sureal yang selalu jadi kekhasan sastra amerika latin.

Setelah baca buku ini aku emosi jiwaaa!!! Bahkan di "perjalanan" ku membaca, udah nggak ke-itung berapa kali buku ini ku lempar ke lantai bahkan ke dinding, kemudian ku pungut lagi buka lembarnya lagi sambil misuh-misuh ngelanjutin baca 😅

Emang nggak salah kata si Márquez kalo dia baru bisa tidur setelah baca buku ini dua kali. Setelah menamatkan buku ini, aku langsung lari ke goodreads dan bener dong hampir seluruhnya bilang kalo baca buku ini tu minimal dua kali, itu minimal loh. Ngejebak banget emang ini buku, pantesan Bernard Batubara menggumamkan f-word di enam lembar halaman pertama dia baca. Emang bener dah.

So jadi gini, ceritanya dibuka dengan adegan seorang anak lelaki dan ibunya yang sekarat, kemudian sang ibu mengucapkan permintaan terakhirnya. ia menyuruh si anak pergi ke sebuah kota untuk menemui ayahnya sendiri, seorang lelaki bernama pedro páramo yang nggak pernah dia temui dan nggak pernah dia kenal sebelumnya. Karna dia anak berbakti jadi setelah ibunya wafat dia pergi ke comala menunaikan permintaan ibunya. Tapi ternyata nggak se-sederhana itu, ternyata itu hanyalah gerbang untuk memasuki sebuah cerita yang sama sekali tidak sederhana dan nggak ada manis-manisnya.

Jujur ini pertamakali aku baca buku yang punya teknik maju mundur tanpa aba-aba kayak gini, menggunakan sudut pandang ganda (orang pertama masa sekarang, orang kedua masa lalu) plus narator aka orang ketiga aka si penulisnya Juan Rulfo.

Narasi pindah dari orang pertama ke orang kedua, ketiga sesuka hati penulis tanpa ancang-ancang. Alur dalam buku ini nggak linear, alur perpindahan cerita dari masa kini - ke masa lalu - ke masa kini terjadi gitu aja tanpa aba-aba, begitu cepat bahkan setara dengan kecepatan cahaya tanpa kasian sama pembacanya, aku sampe orientasi waktu untung nggak amnesia 🤣

Sekali lagi kalo kata Bernard Batubara : "bacanya harus dengan cermat dan mengikuti adegan demi adegannya secara perlahan dan hati-hati. Kalo perlu di catat". Nggak ngomong doang ternyata Bernard emang mencatat nama-nama tokoh yang muncul di Pedro Páramo, saking banyaknya. Setidaknya ada 20 orang yang menjadi tokoh dalam Pedro Páramo dan kita harus memperhatikan kemunculan 20 orang itu dan menyimak apa peran mereka dalam cerita agar tidak kehilangan jejak. Itu bener sih, karna kalo baca spontan kayak aku jadi sering bolak-balik halaman, trus sering nyasar kayak "itu tadi siapa ya? Eh tadi yang itu yang mana ya? Eh dia tadi siapanya siapa ya? Eh yang ngelakuin ini tadi si ini ato si itu ? Eh bukannya tadi dia yang ini ?"

Jadi wajar aja kalo buku ini perlu di baca dua kali ato lebih. Pertama untuk pemanasan, kedua untuk bener-bener di baca dan di pahami maksudnya, dan mungkin ketiga ke empat baru bisa di ambil inti sarinya. Tapi untuk sekarang aku belum minat buat re-read karna masih emosi sama ending dan keseluruhan buku ini 🤣...

Kalo di tanya buku ini bagus apa nggak ? Ya of course this book is really good, aku nggak bakal misuh-misuh kalo buku ini nggak bagus 😅😅😅

Oiya ada kalimat yang diucapkan oleh Dorotea kepada Juan Preciado yang aku suka, kalimatnya gini : “After so many years of never lifting up my head, I forgot about the sky. And even if I had looked up, what good would it have done? The sky is so high, and my eyes so clouded that I was happy just knowing where the ground was.” 

 

 

*****

Link review lengkap dari Bernard Batubara :    

http://www.bisikanbusuk.com/2013/11/pedro-paramo-juan-rulfo.html?m=1

0 komentar:

Posting Komentar