Perjuangan
Anak Ayam Part I
"KENAPA
MAU JADI PERAWAT ?"
By : Novi Andriyani
Oke jadi postingan kali ini alurnya
bakalan mundur, mundur dan mundur.
Jadi pertanyaan yang
sejudul diatas itu pernah ditanyain waktu masa PPS, PPS itu kayak ospek buat
anak-anak Maba (Mahasiswa baru). Biasanya di universitas di kenal dengan Ospek.
Nah kalo di STIKES sebutan ospek lebih dikenal dengan
nama PPS *tau Stikes nggak? Stikes singkatan dari kata Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan.
Jadi ceritanya sekarang
aku lagi bediri berhadapan dengan kk senior yang ngakunya salah satu anggota
BEM Kampus, kami bediri berhadapan dengan mata saling bertatapan yang sayangnya
nggak ada kupu-kupu di perutku, nggak ada bunga-bunga sekitar kami, nggak ada
jantung yang berdebar-debar penuh cinta, dan nggak ada emoticon lope-lope yang
mengiri kami, melainkan cuma ada tingkah songong kk tingkat ini yang mukanya
minta di ulek sampe jadi sambel pecel lele, dengan angkuhnya senior yang aku
nggak tau namanya ini nyuruh berdiri terus nanya gini “Heh bocah! kenapa kamu mau jadi
perawat?”
What??? aku
langsung bingung gimana cara jelasinnya, masak iya aku mendadak buka lapak curhat dengan judul "alkisah seorang bocah menjadi perawat", but is okay... sekarang aku bakal bahas asal muasal kenapa
aku terdampar di antara mahasiswa-mahasiswa berseragam putih-putih ini.
Well saat jaman SMA, pas
naik ke kelas XI udah mulai penjurusan mau ngambil kelas ilmu pengetahuan
alam ato ilmu pengetahuan sosial, IPA IPS lah lebih asingnya. Karena aku tau sama passionku dimana, minatku
kemana jadi aku mutusin mau masuk ke
kelas sosial. Kalo aku ambil IPS udah kebayang cita-citaku mau jadi apa, kuliah bakal ngambil jurusan apa,
universitas mana, kerja dimana, target yang mau kucapai
apa aja, pokoknya udah terbayanglah, pokoknya aku udah buat kerangka masa depan
yang super kece.
Tapi semua harus hancur ketika orang tua nentang keras supaya melupakan ilmu sosial
yang katanya bakalan buat aku punya masa depan suram. Jadi harus masuk ke kelas alam alias harus masuk IPA. Aku lumayan berontak batin karna sama
sekali nggak minat buat masuk IPA. IPA bukan jiwaku dan aku bukan jiwanya IPA. Tapi keluargaku ngotot nyuruh
masuk IPA sebagai batu loncatan pertama menuju "kesuksesan".
Dari berontak batin muncul debat, tapi yang namanya debat yang tak seimbang ditambah lagi kamu yang cuma anak bungsu masih bau kencur di suruh ngelawan keluargamu yang jelasnya
lebih lama hidup di bumi ini, yang punya embel-embel pengalaman hidup udah
kayak makan manis tebu asin garam sangking banyaknya pengalaman. Di mata mereka kamu cuma
keliatan kayak anak ayam., anak ayam yang tersesat nggak tau
jalan pulang dan musti dgiring ke kandangnya. Who's the chicks here ? me, of course.
Hasil dari semuanya dimenangkan oleh kelompok sesepuh, aku kalah telak tanpa perlawanan
yang berarti karna kalah maka aku harus masuk IPA dengan berbagai rancangan
masa depan yang mereka buat, like : “kamu harus masuk IPA, setelah lulus SMA kamu
harus ngambil jurusan ini, kuliah disini, kerja disini, jadi ini dan
seterusnya begini dan selanjutnya begini”. Pokoknya aku harus jadi seseorang
yang sukses sesuai dengan expectasi yang mereka buat, sukses yang sesuai dengan sudut pandang
mereka dan sesuai dengan kriteria sukses versi mereka.
Setelah mengumpulkan sisah kepingan nyawa akhirnya aku kembali brusaha hidup, tapi yang kujalani bukanlah jadi manusia normal lagi melainkan jadi kayak manusia setengah zombie. Aku
udah kayak zombie, manusia hidup tanpa tujuan pasti. Aku ngejalani sisah 2
tahun masa SMA dengan penuh tekanan batin yang nggak bisa di ungkapkan, ditambah lagi aku baru sadar bahwa diriku ini seorang introvert yang saat itu terjebak di sekolah asrama means ketemu orang rame full 24 jam setiap hari dengan peraturan asrama yang ketat dan sistem senioritas jadi tambah ngebuatku sulit beradaptasi dan makin terpuruk. Makanya kalo kata orang kenangan yang paling tak terlupakan adalah saat SMA maka orang itu salah, opini itu nggak berlaku buatku.
Akhirnya tibalah
masa-masa akhir sekolah dan beruntungnya semua siswa di sekolahku dapet tiket jalur undangan SMPTN untuk masuk ke universitas-universitas ternama
di negara ini. Nah si anak ayam yang
tersesat tadi mencoba peruntungan buat bisa keluar dari kubangan tekanan. Jadi
mungkin waktu itu aku mikirnya bisa ngerubah sudut pandang mereka. Jadi aku
ngomong kalo mau kuliah ngambil jurusan ini, kuliah di universitas ini, bakalan kerja gini, gini dan gini. Tapi rupanya si anak
ayam salah kaprah, obsesi orangtua ku terlalu kuat. Sebenernya orangtua ku
tipe ortu yang kalo dibilang kuno enggak tapi kalo dibilang enggak
mereka itu kuno. Mereka punya patokan ngeliat apa yang udah terbukti
berhasil. Contoh nyatanya adalah kk pertamaku, karena kk pertamaku di anggap sukses di
mata mereka maka aku harus nyamain ato lebih tepatnya harus menyerupai kk ku
itu. Karena aku kalah lagi,
jadi orangtua ku memegang kendali buat aku jadi apa nantinya. Aku adalah tipe anak
yang penurut. Drama perdebatan itu
cuma hal sepele jadi Aku
bakalalan nerima apa yang mereka rencanakan.
Balik lagi ke SMPTN,
akhirnya hasilnya keluar dan betapa terkejutnya aku waktu pengumumanya nulis
gini “Maaf Kepada Saudari Novi Andriyani” dan tulisan lainya menyatakan kalo
aku nggak lulus. Kalian tau gimana rasanya? Aku bahagia. Bahagia karena nggak
lulus, bahagia karena doaku dikabulkan Tuhan supaya nggak lulus, ini aku nggak
main-main doanya karena setiap habis shalat selalu minta sama Allah swt buat
nggak ngelulusin kuliah di jurusan itu karena aku emang nggak punya niat kesana, takut putus di tengah jalan waktu kuliah kalo tetep dipaksakan dan aku nggak bisa bayangin kalo lulus di jurusan itu betapa tersiksanya
batin ini. Oke kalo kemaren kemaren kopingku masih kuat buat nahan tekanan batin tapi gimana kalo pressure itu terus
nambah sementara kopingku makin menipis? Bisa-bisa jadi gila dan aku belum mau
jadi gila, tujuan hidup itu sebenernya simple yaitu cuma pengen bahagia, makanya aku seneng waktu nggak lulus. Waktu orangtua tau
kalo aku nggak lulus dengan jurusan yang udah mereka tetapkan sebelumnya, mereka kecewa. Kecewa pada anak bungsunya yang jadi harapan mereka
selama ini. How do I feel ? aku jadi bimbang dan nyalahin diri sendiri, kenapa
kemaren-kemaren doa ku egois banget ? *emang ababil banget anak ayam ini...
Akhirnya aku ikut tes
kesana kemari, tes ke perguruan tinggi negeri kesana kemari dengan hasil yang
tetep sama, aku nggak lulus. Karna aku tetep kukuh nggak mau ngambil jurusan
yang mereka tetapkan, mungkin karena nggak dapet restu dari orangtua
makannya mau tes di mana aja tetep nggak
lulus. Ini aneh, padahal nilaiku tinggi dan aku juga nggak bego-bego amat.
Mungkin karena orangtua udah geram, makanya mereka nyuruh daftar ke salah satu STIKES dan ambil
jurusan perawat atau bidan aja. Nah disitu runtuh lagi perjuanganku... Aku
nggak mau, aku nggak mau punya profesi itu. Siraman rohanipun ngalir dari si
ibu, beliau nyeritain betapa bangganya ibu pada kakakku, pengen aku jadi kayak dia, ngikutin langkah hidup dia. Apa yang
kakakku lakukan aku juga harus ngikutin. Ibu pengen aku jadi seperti kakak ku, yang aku sesalkan dari orangtua ku adalah mereka ngganggap aku ini
harus jadi kloningan bukan aku sebagai
diriku sendiri. Akhirnya aku pasrah dan setuju aja.
I cried. sebenernya aku jarang banget nangis, karna bukan tipe orang yang cengeng tapi kalo udah sampe nangis berarti itu sakit
banget dan udah nggak bisa diatasi dengan pura-pura kayak yang udah-udah. Aku
nangis semaleman dan sendirian, aku nggak mau orangtua tau kalo sebenernya aku
nggak ikhlas, ortu harus taunya aku nurut kayak biasanya, tanpa beban dan harus
nerima tanpa protes.
Aku sering mengandaikan, coba
waktu penjurusan itu mereka mau degerin apa yang aku mau, apa yang aku niatkan, pasti sekarang aku nggak jadi manusia setengah zombie kayak gini. Hidupku pasti nggak dibayangi
dengen kata “seandainya” yang terus menerus muncul “seandainya ini,
seandainya itu, seandainya aja...” yang aku tau hidup itu
cuma sementara dan hanya sekali, jadi kalo kita nggak menikmati hidup ya rugi
ke kita sendiri. Payahnya aku bukan bagian orang yang menikmati
hidup, tapi meski gitu aku mensyukuri dan berterimakasih sama Tuhan
karena diberi orangtua yang lengkap, sehat, perhatian dan aku sangatsadar yangg mereka inginkan hanyalah yang terbaik untukku.
Sekarang disinilah aku bediri berhadapan sama senior yang dahinya udah berkerut ngeliatin aku....
Sekarang disinilah aku bediri berhadapan sama senior yang dahinya udah berkerut ngeliatin aku....
Aku :
kenapa kak ?
KK senior : kok kenapa? Kamu itu ditanya malah balik nanya!
Aku :
kakak nanya apa tadi ?
KK senior : Kenapa kamu mau jadi perawat, bukannya njawab malah ngelamun!
Aku :
oooh...
KK senior : Heh jawab!
Aku :
disuruh orang tua kak
KK senior : kasus mainstream anak perawat...
Aku :
iya.
Next → Perjuangan Anak Ayam Part II :
→ https://noviandriyani-karaswati.blogspot.com/2017/05/perjuangan-anak-ayam-part-ii.html
→ https://noviandriyani-karaswati.blogspot.com/2017/05/perjuangan-anak-ayam-part-ii.html
0 komentar:
Posting Komentar